
JKP.
turut berdukacita atas meninggalnya sang maestro musik indonesia ~ ELFA-SECIORIA (Sabtu, 08-01-2011--17.00). Semoga arwahnya diterima oleh Tuhan-ALLAH Sang Pencipta Jagad Semesta. amien.
my-MUSIC~your-MUSIC~our-MUSIC
Keroncong untuk Semua
Susi Ivvaty
Musik keroncong sama dengan santapan kaum uzur? Bagi anggota Komunitas Penikmat Keroncong, pendapat itu dibantah keras. Anggota komunitas ini justru kebanyakan anak muda produktif, bersemangat, dan—yang pasti—mencintai keroncong.
Keroncong, musik asli Indonesia itu, menjadi pemersatu sebanyak 65 anggota Komunitas Penikmat Keroncong (KPK). Mereka tersebar di beberapa kota, seperti Jakarta, Bandung, Bogor, dan Surabaya. Ada pula anggota yang tinggal di Malaysia dan Belanda.
Sesekali mereka "kopdar" (kopi darat) atau bertemu muka untuk membahas berbagai hal menyangkut keroncong. Namun, untuk berkomunikasi setiap hari secara intensif, terutama bagi anggota yang berada di luar negeri, mailing list pun menjadi "ajang pertempuran". KPK berbincang secara virtual melalui mailing list keroncong@yahoogroups.com.
"Lewat mailing list, kami membicarakan apa saja seputar keroncong. Musiknya sendiri, rencana pentas, membuat tabloid, merchandise, hingga berbagai diskusi untuk lebih mengangkat pamor keroncong," kata moderator mailing list, Adi B Wiratmo (34), praktisi teknologi informasi yang tinggal di Bandung.
Anggota komunitas ini bekerja di berbagai sektor, seperti karyawan perusahaan swasta, pegawai negeri, kontraktor, wiraswasta, dosen, akuntan, guru, penyanyi, dan ada pula mahasiswa. Beberapa di antara mereka sebelumnya sudah memiliki grup keroncong, meski masih amatiran.
Puji Heru (36), Andhy Hantoro (27), Pracoyo (37), Sugiyarto (34), dan Subagyo (32), semuanya tinggal di Ciledug, sejak tahun 2005 mendirikan kelompok keroncong bernama Talentera. Kebetulan, mereka sama-sama berasal dari Gunung Kidul, DI Yogyakarta.
Dengan cara mengiur, awak grup ini membeli peralatan keroncong di Solo seharga total Rp 3,5 juta. Puji kini memegang celo, Pracoyo pada cuk, Andhy pada cak, Bagyo pada bas, dan Giyarto pada gitar.
Grup lain yang tergabung dalam KPK, Jempol Jentik, juga membeli peralatan keroncong dengan cukup murah di Solo, Rp 2,5 juta. "Itu sudah dapat bas betot, celo, biola, cak, dan cuk. Gitar kami sudah punya," ujar Adi B Wiratmo, pemain gitar dan cak.
Jempol Jentik terbentuk pada tahun 2005. Waktu itu, ketika sedang mendengarkan langgam Jangkrik Genggong, Gemes, dan Jangan Terong yang dinyanyikan Waljinah, Adi merasa terhanyut. "Rasanya nyaman, nyess," katanya. Ia lantas mengajak beberapa kawan nongkrongnya dulu untuk membentuk grup keroncong.
Anggota KPK tidak harus bisa memainkan musik atau menyanyikan lagu-lagu keroncong. Lili Sadeli (37), akuntan perusahaan swasta, bergabung dengan KPK karena senang mendengarkan musik keroncong. "Pengetahuan tentang keroncong bertambah setelah bergabung dengan mailing list," ujarnya.
Anggota lain, seperti Bambang (33), kontraktor; Isaac (36), karyawan perusahaan asuransi; Adith (37), wiraswasta di bidang penerbitan; dan Imam Soeseno (46), wiraswasta; mengaku bergabung dengan KPK lantaran ingin mengembangkan musik ini. "Di komunitas ini, saya bisa berdiskusi, bagaimana agar keroncong bisa digemari anak-anak muda lebih luas," ujar Adith.
Larasetya (24), vokalis Jempol Jentik, memang suka menyanyi. Mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung ini sebenarnya gemar menyanyi lagu apa saja, pop hingga rock. Namun, setelah menyanyi dengan cengkok keroncong, Lala, begitu Larasetya dipanggil, ketagihan. "Lagu-lagu keroncong menantang, apalagi kalau musiknya dicampur dengan jazz atau reggae, he-he-he," kata cewek bersuara merdu ini.
Berbagi pengalaman
Di KPK, ada beberapa guru yang kerap dijadikan tempat bertanya karena pengetahuannya yang luas di bidang keroncong. Satu di antaranya adalah Wawang Wijaya (62), warga negara Malaysia, namun lahir dan besar di Indonesia.
Wawang bergabung dengan komunitas ini karena ingin membagi pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Justru karena menjadi WNM, ia ingin menegaskan ke orang-orang bahwa keroncong adalah musik asli Indonesia.
Wawang bermain keroncong sejak tahun 1952, sewaktu berumur tujuh tahun. Ia diajari almarhum kakeknya (1888-1973) yang memang "buaya keroncong". Kakek membuatkannya gitar kecik agar pas dipegang Wawang. Sejak itu, setiap sore saat kakeknya bermain biola, ia menimpalinya dengan gitar. "Awalnya karena disuruh kakek, namun lama-lama jadi mencintai keroncong," katanya.
Wawang lalu bergabung dengan grup keroncong di kampungnya, mulai bagian menabuh triangle sampai cak, cuk, dan gitar. Ia juga mempelajari sejarah keroncong dengan membaca buku berbahasa Belanda milik kakeknya.
Ketika bekerja di Kuala Lumpur, Wawang diminta mengajar musik organ di Fakultas Persembahan Universitas Institut Teknologi MARA (UITM) Shah Alam Selangor pada tahun 1984. Pada tahun 1995-2002, ia beralih mengajar keroncong. Ia juga diminta mengajar di Fakultas Kemanusiaan Seni Universitas Sains Malaysia (USM), Pulau Pinang, dari tahun 1995-1999.
Kini, Wawang sedang menyiapkan buku mengenai keroncong, empat jilid meliputi sejarah keroncong mulai abad ke-17 sampai abad milenium. "Baru 40 persennya," katanya.
Guru lain yang sering dimintai pendapat, yakni penyanyi Sundari Soekotjo. Di beberapa surat elektroniknya, Soendari mengeluhkan keroncong yang justru menggaung di luar negeri, seperti Belanda. Ia ingin memasarkan musik keroncong yang dikemas sesuai kebutuhan zaman ke berbagai stasiun televisi selain TVRI. "Saya sudah ajukan proposal dan berbicara dengan beberapa pimpinan televisi swasta, tetapi selalu tertumbuk masalah sponsor," katanya.
Bagi siapa pun yang ingin bergabung dengan komunitas penikmat keroncong ini, daftar saja dengan mengirimkan e-mail kosong ke keroncong-subscribe@yahoogroups.com. Crung... crung... crung....
Creng-Crong Sekilas Sejarah Keroncong
Berselancarlah di internet, Anda pasti akan menjumpai banyak situs atau artikel mengenai keroncong. Sejarah keroncong di Indonesia tidak terlepas dari kehadiran Krontjong Toegoe, di Kampung Tugu, Plumpang-Semper, Jakarta Utara. Generasi muda kelompok ini dimotori oleh Andre Juan Michiels.
Kehadiran musik ini punya sejarah panjang. Kompas mencatat, kisah berawal dari jatuhnya Malaka dari Portugis ke tangan Belanda (1648). Orang-orang Portugal umumnya tentara keturunan berkulit hitam yang berasal dari Bengali, Malabar, dan Goa lalu ditawan dan dibawa ke Batavia.
Sekitar tahun 1661 mereka dibebaskan, lalu dimukimkan di rawa-rawa sekitar Cilincing, yang disebut Kampoeng Toegoe. Di sana, kaum mardikers ini membangun komunitas dengan pekerjaan pokok bertani, berburu, dan mencari ikan.
Di kala senggang, seusai mengerjakan sawah-ladang atau berburu, mereka mengisi waktunya dengan bermain musik. Dengan peralatan sederhana berupa alat musik petik mirip gitar kecil berdawai lima (rajao), mereka menyanyi. Alat ini kemudian dimainkan bersama biola, gitar, rebana, dan suling.
Wawang Wijaya, ahli dan pemain keroncong, mengatakan, bagaimanapun, musik keroncong itu asli Indonesia. Hanya saja, orang-orang yang bermain dulu belum mengenal chord. Keroncong lalu dipersohor oleh orang-orang Portugis dengan berbagai alat mereka, seperti rajao, sejenis gitar kecil berdawai lima. Portugis mengajarkan chordal. Musik terus berkembang, dari namanya moresco hingga berubah menjadi keroncong mulai awal abad ke-19.
"Karena bunyi alatnya creng... crong... lalu dinamai keroncong," kata Wawang. (IVV)
Pakem Keroncong Progresif
Mengapa musik keroncong jarang dilirik anak-anak muda? Menurut Silvester Hardanny (50), anggota Komunitas Penikmat Keroncong, hal itu terjadi karena musik keroncong tidak dikembangkan. "Saatnya untuk membuat keroncong progresif, baik musik maupun lagu-lagunya," ujarnya.
Selama ini, lagu-lagu keroncong yang dinyanyikan di layar kaca hanya itu-itu saja. Kalaupun langgam, lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu pop, jarang sekali lagu jazz atau rock. "Padahal, keroncong itu kan musiknya. Lagunya mau milik Deep Purple atau Nat King Cole ayo aja," kata Hardanny.
Bahkan, imbuh Hardanny, ia biasa memainkan musik keroncong dengan prolog dan epilog musik jazz. "Pakemnya tetap keroncong, namun bisa dimodifikasi dengan musik apa pun," kata wiraswastawan yang juga anggota Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri).
Ketua Hamkri Soekardi mengatakan, memang harus banyak gagasan untuk memperkaya musik keroncong. "Agar anak-anak muda juga menggandrungi," katanya. (IVV)
Kompas Minggu, 18 November 2007
J-Rock atau Japanese rock (日本のロック, nihon no rokku?, rock Jepang) digunakan untuk menyebut genre musik rock yang ada di Jepang.
Aliran musik J-Rock menjadi populer di Indonesia berkat kepopuleran penayangan anime di televisi dengan lagu tema (soundtrack) yang dibawakan penyanyi dan kelompok musik Jepang.
Daftar isi[sembunyikan] |
Sejarah J-Rock dimulai tahun 1957 dengan dikenalnya musik rock di Jepang bersamaan dengan puncak kepopuleran rockabilly yang merupakan salah satu gaya rock 'n' roll.
Rockabilly yang dimulai di berbagai kelab jazz melahirkan penyanyi rockabilly seperti Mickey Curtis, Masaaki Hirao, dan Keijirō Yamashita. Pada bulan Februari 1958, ketiganya tampil dalam konser Westan Kānibaru I (Western Carnival I) di gedung pertunjukan bernama Nihon Gekijō, Tokyo.
Di akhir dekade 1950-an, kepopuleran rockabilly yang mulai surut digantikan era Kabā Popsu (cover pops) yang terdiri dari berbagai jenis musik. Di antara tokoh cover pops terdapat musisi seperti Yūya Uchida dan Isao Bitō yang berakar pada genre rockabilly. Selain itu, cover pops dengan gaya Liverpool Sound lahir mengikuti kepopuleran grup-grup musik seperti The Beatles di sekitar tahun 1963.
Gitar elektrik produk dalam negeri yang bisa dibeli dengan harga murah membantu terciptanya demam Ereki (musik rock dengan gitar elektrik). Istilah "Ereki" merupakan singkatan dari kata erekigitā (エレキギター, erekigitā? gitar listrik). Penggemar musik rock di Jepang banyak yang berganti identitas dari pendengar setia menjadi musisi rock.
Sekitar tahun 1964-an, The Astronauts dan The Ventures menjadi populer di Jepang. Musik yang dimainkan musisi seperti Terauchi Takeshi to Burū Jīnzu (Takeshi Terauchi & Blue Jeans) disebut surf music alias musik Ereki (Eleki). Rekaman lagu The Astronauts dan The Ventures dengan lirik bahasa Jepang seperti yang dibawakan Fujimoto Kōichi juga menjadi hit. Musik Ereki dengan seketika mencapai puncak kepopuleran. Grup band Ereki di Jepang pada masa itu tidak saja memainkan lagu-lagu surf music, melainkan juga lagu-lagu berirama Liverpool Sound milik berbagai grup band asal Inggris yang menandai era gerakan musik British Invasion. Di tahun 1965, Yuzo Kayama membentuk band Ereki tiruan The Ventures yang disebut The Launchers. Grup musik ini begitu populer hingga Yuzo Kayama dijadikan peran utama dalam film Ereki no wakadaishō (Electric Guitar Young Guy atau Campus A-Go-Go).
Pada tahun yang sama, Tokyo Beatles merilis piringan hitam berisi lagu-lagu The Beatles dengan lirik bahasa Jepang. Selain itu, Tokyo Beatles juga mengeluarkan PH berisi lagu-lagu yang pernah dibawakan grup musik Inggris yang memainkan Liverpool Sound.
Kedatangan The Beatles untuk tampil dalam pertunjukan di Jepang membuat grup-grup musik Ereki berganti warna musik agar ikut bisa bergaya British Invasion. Di antara perintis British Invasion di Jepang terdapat grup musik seperti Jackey Yoshikawa and his Blue Comets dan The Spiders. Pada saat yang bersamaan tampil grup musik berirama Group Sounds (Gurūpu Saunzu). Aksi panggung band-band berirama Group Sounds banyak meniru grup musik berirama British Invasion, tapi sebagian besar singel dan album mereka tidak berirama rock, melainkan Kayōkyoku atau Wasei Pops (pop Jepang).
Akhir dekade 1960-an hingga pertengahan dekade 1970-an diwakili grup-grup musik seperti Hadaka no Rallies, Jacks, RC Succession, Joe With Flower Travellin' Band, Mickey Curtis & Samurai, Blues Creation, Murahachibu, The Mops, PYG, Happy End, Sadistic Mika Band, Fried Egg, Yonin Bayashi, Magical Power Mako, Zunō Keisatsu dan Gedō. Tidak juga ketinggalan grup rock seperti Carol, Cools, dan band asal Kansai seperti Funny Company yang disebut sebagai Carol-nya Jepang bagian barat.
Daerah Kansai di dekade 1970-an diwarnai dengan rock aliran blues rock yang mirip southern rock. Musik jenis ini dibawakan pemusik rock seperti Ueda Masaki and South to South, serta West Road Blues Band. Sementara itu, angin Okinawan rock berhembus dari Okinawa. Aliran ini dibawakan Katchan Condition Green dan grup Murasaki. Dari namanya saja, grup Murasaki (bahasa Jepang untuk warna ungu) sudah jelas ingin diasosiasikan dengan Deep Purple. Dari Nagoya tampil Kondō Fusanosuke dengan grup Break Down. Ayukawa Makoto dengan grupnya yang bernama Son House tampil dari Fukuoka dan nantinya disebut perintis Mentai Rock.
Dekade 1970-an dimeriahkan Uzaki Ryūdō dengan kelompoknya yang Downtown Boogie-Woogie Band, grup Carol yang mendapat pengaruh kuat The Beatles, Off Course, dan Tulip. Selain itu, mantan anggota kelompok irama group sounds The Tigers yang berkarier solo, Kenji Sawada terus menghasilkan singel dan album berwarna rock. Takurō Yoshida dan Yōsui Inoue adalah penyanyi paling laris di Jepang saat itu. Keduanya dipengaruhi Bob Dylan dan musik-musik mereka bergaya folk rock. Sementara itu, grup musik yang paling laris adalah Garo dan NSP (grup musik) yang mendapat pengaruh dari Crosby, Stills, Nash & Young.
Grup musik yang terkenal di Jepang pada pertengahan dekade 1970-an, misalnya: Kai Band yang memiliki warna rock yang kuat, Shōgo Hamada, Miyuki Nakajima, dan Momoe Yamaguchi yang banyak membawakan lagu ciptaan Ryūdō Uzaki. Walaupun banyak grup musik rock yang terkenal, musik rock masih belum diterima seluruh lapisan masyarakat.
Keadaan ini diubah oleh band Carol yang didirikan Eikichi Yazawa dan tiga tokoh rock ternama: Sera Masanori & Twist, Shinji Harada, Char yang dikenal sebagai "tiga besar dalam rock" (rokku gosanke). Musik rock makin mudah diterima orang Jepang berkat Southern All Stars yang memulai debutnya di tahun 1978, The Alfee, Kenji Sawada, dan Godiego (hanya single yang dirilisnya saja). Di akhir dekade 1970-an hingga awal 1980-an bermunculan musisi dan grup rock seperti Terao Akira, Creation, Yoshito Machida, Yamanaka Joe, Yanagi George & Rainy Wood, RC Succession, Monta & Brothers, Masaki Ueda, Kai Band, Shōgō Hamada, dan Masahiro Kuwana yang banyak melahirkan lagu-lagu hit. Bulan Maret 1980, Motoharu Sano memulai debutnya, tapi masih kurang mendapat sambutan.
Jepang di sekitar tahun 1980-an ramai dengan grup musik berbagai aliran seperti punk rock, new wave, techno-pop, hard rock, dan heavy metal. Grup musik yang mewakili era tersebut, misalnya: BOW WOW, Loudness, Yellow Magic Orchestra, Anthem, Earthshaker, 44Magnum, dan Hound Dog. Dari Fukuoka tampil grup-grup seperti Sheena & The Rokkets yang dipimpin Ayukawa Makoto, The Mods, A.R.B., The Roosters, dan The Rockers yang membawakan aliran Mentai Rock, serta The Checkers. Grup lain asal periode ini misalnya, Chanels (Rats & Star) yang dibesarkan di live house. Dari daerah Kanto tampil grup-grup musik seperti Plastics, Anarchy, Juicy Fruits, The Venus, Ippudō, Hikashu, dan P-Model.
Boøwy memulai debutnya di tahun 1982 dan band ini nantinya mempunyai pengaruh kuat dalam dunia musik rock Jepang. Sejak akhir dekade 1970-an, grup musik dari label rekaman Indies terus populer, sehingga terjadi "Band Boom" di Jepang pada paruh kedua dekade 1980-an. Pada masa itu terdapat banyak sekali grup-grup musik yang populer. Princess Princess, Unicorn, Jun Sky Walker(s), Bakufu-Slump, dan Pink Sapphire adalah nama-nama grup musik pencetak banyak sekali lagu hit di pertengahan tahun 1980-an. Di jalur heavy metal, Seikima II merupakan band yang paling populer dan sering tampil di televisi.
B'z memulai debutnya tahun 1988. Di tahun yang sama, album berjudul Covers oleh RC Succession dihentikan peredarannya akibat protes berbagai kalangan karena lagu-lagu bertema antiperang dan antinuklir. X Japan memulai debutnya di tahun 1989 dan berhasil menggetarkan Jepang dengan musik heavy metal yang dapat diterima semua kalangan. X Japan merupakan perintis gerakan musik Visual Kei yang melahirkan band-band yang mengekor ketenaran X Japan. Dari label Indies lahir grup rock Kin-Show (King-Show) yang bernaung di bawah perusahaan rekaman Nagomu Record.
Di akhir dekade 1980-an, The Flipper's Guitar memulai debutnya sebagai pemimpin gaya Shibuya Kei nantinya menjadi sub-budaya tersendiri. Gerakan musik Shibuya Kei memadukan unsur musik jazz, fusion, dan musik tradisional Jepang. Di sekitar waktu yang sama, Ozaki Yutaka juga mencapai puncak ketenaran. Lagu-lagunya bertema kritik sosial yang dilihat dari sudut pandang generasi muda.
Mr.Children yang beranjak dari live house La Mama di Shibuya memulai debutnya di tahun 1994. Kesuksesan Mr.Children diikuti oleh Spitz, ulfuls, The Yellow Monkey, dan Elephant Kashimashi.
Pertengahan dekade 1990-an merupakan puncak ketenaran band Visual Kei. Kehadiran Luna Sea mendapat sambutan luar biasa penggemar musik Jepang, diikuti oleh Glay dan L'Arc~en~Ciel (walaupun L'Arc~en~Ciel sendiri menolak disebut sebagai band Visual Kei).
Lagu-lagu dari band Visual Kei banyak dipakai sebagai lagu tema anime dan permainan video, sehingga keberhasilan anime dan permainan video di luar Jepang turut menyeret kepopuleran band Visual Kei di luar Jepang. Sementara itu, penyanyi rock wanita seperti Maki Oguro, Nanase Aikawa, dan Ringo Shiina sedang berada di puncak ketenaran. Di saat yang bersamaan muncul tren mendirikan grup musik campuran dengan vokalis wanita, seperti Judy and Mary dan Hysteric Blue. Pada waktu itu juga populer grup The High-Lows yang didirikan Hiroto Kōmoto dan Masatoshi Mashima yang keduanya mantan The Blue Hearts. Aliran baru yang disebut Melodic Hardcore diciptakan oleh Hi-Standard, Nicotine, Snail Ramp, dan Kemuri. Lirik lagu berbahasa Inggris yang sekarang sudah menjadi barang lumrah justru dimulai oleh Hi-Standard. Pada saat yang sama, band wanita Shonen Knife menjadi populer di luar Jepang. Mitos "sukses di luar negeri harus pandai betul memainkan instrumen" luntur dengan keberhasilan Shonen Knife menjadi band pembuka konser Nirvana pada tahun 1993. Beberapa band lain asal Jepang yang populer di luar negeri, misalnya Guitar Wolf, Boredoms, dan The 5.6.7.8's.
Akhir dekade 1990-an ditandai dengan puncak kepopuleran Blankey Jet City dan thee michelle gun elephant. Pada masa itu sering diadakan konser di alam terbuka seperti Fuji Rock Festival. Kelompok musik seperti Number Girl, Supercar, Yura Yura Teikoku yang termasuk aliran Rockin juga banyak menarik perhatian penggemar.
T.M.Revolution, Gackt, dan Kiyoharu yang memulai debutnya sebagai Visual Kei beralih sebagai musisi solo yang terus menghasilkan lagu yang dapat memasuki tangga lagu pop hingga sekarang.
Di awal tahun 2000-an mulai terdapat gaya Seishun Punk yang dimulai oleh Stance punks, Gagaga SP, dan Going Steady. Saat itu populer grup musik seperti Bump of Chicken, Asian Kung-Fu Generation, dan Acidman yang tergolong genre Shimokita Kei.
Sejak pertengahan tahun 2000-an terdapat banyak sekali grup bergenre Melodic Hardcore dan Emocore seperti Ellegarden dan Asian Kung-Fu Generation. Musisi yang berjasa di masa kejayaan Melodic Hardcore tahun 1990-an juga ikut bangkit kembali, misalnya: mantan anggota Hi-Standar yang bernama Ken Yokoyama berkarier solo, Ultra Brain, dan Snail Ramp.
Saat ini populer kelompok J-Rock seperti Bump of Chicken dan Sambo Master yang matang sebagai grup rock aliran utama. Selain itu juga terdapat Rize, Orange Range, HY, dan Dragon Ash yang tergolong genre Mixture rock.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar